Cerita ini kalau saya ingat-ingat lagi bikin ngakak sendiri. Jadi, hari kamis kemarin saya terima order sekotak shumai ayam. Sebut saja, seseorang ingin mengirimkan shumai ayam untuk temannya. Seseorang ini mengetahui iklan saya melalui sebuah retweet di media sosial. Oiya saya ucapkan terima kasih untuk teteh yang sudah retweet iklan shumai saya 😊 Semoga teteh sehat selalu.
Singkat cerita, saya bisa memenuhi order itu. Masnya minta supaya shumai sampai di tujuan sekitar setengah empat sore. Siplah no problemo buat saya, lalu saya menanyakan alamat kirim untuk mengecek ongkir. Dhiiienggg!!
Ongkir 37K, sedangkan harga sekotak shumai hanya 20K
😂
Saat tahu ongkirnya segitu, saya sudah pesimis masnya akan proceed. Saya tahu diri saja, shumai saya engga viral dan engga kekinian haha. Tapi, to my surprise masnya lanjut order. Mungkin dia merasa tidak enak kalau membatalkan orderannya. Bisa jadi.
Giliran saya yang merasa engga enak sendiri, I thought he deserve to get my best effort. Mulai lah saya chat sana chat sini ke beberapa teman, mencari tahu adakah kurir lokal yang bisa mengantar pesanan dengan ongkir kurang dari tiga puluh ribu. Saya mendapat beberapa dan salah satunya adalah tetangga saya yang menyambi kerja mengantar barang.
Saya menghubunginya dan ia sanggup mengantar. Sekali lagi, saya hubungi masnya mengabarkan bahwa saya dapat kurir dengan ongkir yang jauh lebih ekonomis. Total yang ditransfer menjadi 35K, 20K untuk shumai, sisanya ongkir. Deal. Transferan sudah masuk. Sayapun melanjutkan membuat adonan shumai.
Kira-kira 10 menit kemudian tetangga saya ini memberi kabar dia tidak jadi bisa mengantar, karena tetiba ada panggilan dari main job nya. Du du du du… krik krik krik…
Pikiran saya bercabang antara kewajiban menyelesaikan adonan dan putar otak lagi mencari kurir. Maklum lah usaha rumahan dengan rata-rata orderan lima ratus boks perhari segala sesuatunya tentu saya pegang sendiri, mulai jadi tukang masak sampai jadi content creator mummas *tolong di follow ya guys 😁
Setelah dapat kabar itu, saya tidak serta merta memberitahukan ke pembeli, saya masih berusaha untuk mencari alternatif kurir. Ada dua kurir lokalan yang saya hubungi dan ternyata tidak bisa dadakan harus H-1 order. Widiw widiw, time is clicking, walau satu kota mustahil saya antar sendiri karena letaknya jauh dari tempat tinggal saya, dan saya masih harus menyiapkan pesanan beberapa boks shumai lagi yang harus selesai sore itu juga. Opsi mengantar sendiri coret. Saya butuh kang kurir.
Sekitar pukul satu siang saya hubungi masnya dan menyampaikan permintaan maaf, saya minta nomor rekening beliau untuk mentransfer kembali uang yang sudah saya terima. To my surprise beliau tetap melanjutkan order dan tidak masalah dengan ongkir yang ‘mahal’ dan berjanji akan mentransfer lagi kekurangan ongkirnya.
Saya antara heran dan terharu entah apalah sebutannya. Haha. Berbekal keyakinan masih ada satu kurir lokal yang sempat saya hubungi tapi belum merespon akan memberikan kabar baiknya. Saya menunggu, kembali sambil membungkus adonan kedalam kulit shumai.
Tak lama ada pesan masuk, dari kurir yang saya saya tunggu responnya tadi. Admin mengirimkan form untuk saya isi nama, alamat, nomer telp pengirim beserta penerima dan tentu juga jenis paket. Saya isi segera dan mengirimkannya kembali. Sekitar sepuluh menit kemudian ada balasan beserta tarif kirim yang harus saya bayar via transfer.
To my surprise, again. Lima belas ribu rupiah.
Apakah saya sudah lega? Jawabannya belum hihi
Dari kesepakatan barang akan di pick up pukul 3, sampai hampir setengah empat kang kurir belum nongol 😵
Lagi-lagi saya membungkus shumai dengan harap-harap cemas. Mudah-mudahan shumai hari itu tidak sarat dengan rasa kecemasan saya. 😆
Setengah empat lebih sedikit, akhirnya kurir datang. Setelah upacara serah terima sekotak shumai ayam terlaksana 3/4 kecemasan saya lepas. Butuh beberapa saat untuk kang kurir menekuni alamat tujuannya, kemudian ia pun berangkat dengan doa yang saya panjatkan disela-sela membereskan dapur. Bagaimana tidak kang kurir sempat mengernyitkan dahi saat membaca alamat tujuan yang tanpa nama perumahan apalagi nomor rumah. Hanya berbekal RT, RW, nama kelurahan dan kecamatan serta nama sebuah pabrik atau tempat usaha, entahlah. 😯
Setengah jam kemudian saya terima pesan masuk dari kang kurir beserta foto seorang perempuan didepan pintu sedang membawa sekotak shumai dengan kalimat singkat yang sangat melegakan “Done ya Ka.”
Oh, habis sudah cemas saya. Lega. Cerita mengirimkan sekotak shumai ini sungguhlah berkesan. Bahwasanya sekotak shumai sanggup menghadirkan kelelahan fisik dan pikiran. Namun dibalik itu ada pengalaman yang sangat membangun mental saya untuk do my best. Terimakasih untuk pesanannya dan terlebih untuk pengalamannya. 😊
Malamnya setelah semua pesanan beres, dapur bersih dan rumah tertata rapi, saya duduk sambil menikmati segelas minuman boba dingin yang saya pesan dari kedai dekat rumah melalui aplikasi. Sambil sesekali tersenyum mengingat drama sekotak shumai ayam.
Baca juga : Chicken Shumai, Cerita Tentang Memulai Sesuatu
-Ta-
